judi36

Di Balik Kompaknya Indonesia, Malaysia & Thailand Tak Pakai Dolar

Apa makna akurnya ketiga bank sentral di ASEAN dalam penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi?
tirto.id - Sehari sesudah ingar bingar letusan kembang api tahun baru, akan menjadi babak gres bagi Rupiah, Baht, dan Ringgit. Ketiga mata uang tiga negara ASEAN ini akan efektif dipakai lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi antar ketiga negara.
Terobosan ini bukan ujug-ujug begitu saja, ketiga gubernur bank sentral, antara lain Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), dan Bank of Thailand (BOT) meluncurkan local currency settlement (LCS) framework terhadap rupiah-ringgit, rupiah-baht, dan ekspansi baht-ringgit 11 Desember lalu di Jakarta.
Kesepakatan ketiga bank sentral ini mulai efektif pada 2 Januari 2018, yang digagas semenjak setahun lalu. Sebelum dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand lebih dulu memulainya, kolaborasi ini sebagai ekspansi LCS bagi keduanya.

 

Apa yang sanggup dimaknai dari kesepakatan strategis ini?
Mata uang dolar AS sudah usang menjadi mata uang dunia dalam transaksi perdagangan hingga investasi. Bagi Indonesia, problem ini menjadi kekhawatiran tersendiri sebagai negara yang pernah terpukul dengan kurs dolar AS. Thailand, dan Malaysia pun punya pengalaman yang sama.
“Ketergantungan yang tinggi terhadap dolar AS telah mengakibatkan distorsi-distorsi global yang sekarang mengancam kemajuan ekonomi global,” katanya ketika menghadiri KTT G-20 pada 2015 di Antalya, Turki dikutip dari Antara.
Kekhawatiran Jokowi memang bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi AS di bahwa kepemimpinan Donald Trump berpotensi terus menguat. Tren suku bunga AS juga diperkirakan ikut-ikutan meningkat. Dampaknya, seluruh mata uang negara di dunia berpeluang tertekan terhadap dolar AS sebagai imbas kembalinya fatwa modal ke AS.
Baca juga: Gerak Dolar Melawan Rupiah
Nah, LCS ini salah satu dari seni administrasi tiga negara untuk menjaga stabilitas mata uang masing-masing, selain meningkatkan transaksi perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal ketiga negara. Caranya menggunakan uang lokal masing-masing ketika bertransaksi lintas negara.
Dalam penjelasan BI, tumpuan penerapan teknis LCS terhadap transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia sanggup dilakukan dalam mata uang rupiah, namun setelmen (penyelesaian) transaksi rupiah tersebut tetap dilakukan di Indonesia. Namun, sebaliknya jikalau transaksi perdagangan Indonesia dan Malaysia dilakukan dalam mata uang ringgit, maka setelmen transaksi tersebut dilakukan di Malaysia.
“Dengan LCS yang aktif juga, pada gilirannya sanggup menjaga stabilitas mata uang rupiah,” kata Dody Budi Waluyo, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia kepada Tirto.
Ketergantungan terhadap dolar, untuk transaksi perdagangan dan investasi maupun lainnya memang berisiko bagi moneter. Sampai-sampai Indonesia menyiapkan skenario jaga-jaga dengan Bilateral Swap Arrangement (BSA) demi punya pengaman cadangan devisa dolar.
Indonesia pernah bekerja sama dengan Jepang skema BSA senilai 22 miliar dolar AS semenjak 2003 hingga 2016. BSA merupakan kolaborasi pertukaran mata uang (swap) rupiah dengan dolar AS antara Jepang dengan Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi jikalau ada kesulitan likuiditas akhir permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.

Upaya Melawan Dominasi Dolar AS

Sadar pentingnya melepas ketergantungan terhadap dolar AS, menciptakan otoritas moneter memutar otak. Upaya melawan dominasi dolar AS dalam transaksi global pun dijajaki Indonesia.
Sejak 2009, Indonesia menjalin kolaborasi bilateral dengan Cina terkait swap mata uang atau Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) hingga 2016. BCSA sebagai kolaborasi swap mata uang lokal Indonesia dan Cina untuk mendukung perdagangan dan investasi antara kedua negara.
Kerja sama rupiah/yuan (renmimbi) swap line ini setara dengan Rp175 triliun atau 100 miliar yuan. Kemudian kolaborasi BCSA ini diperpanjang 2016-2019 dengan nilai BCSA disepakati sebesar 130 miliar yuan.
Bedanya dengan LCS maupun CSA, perjanjian BCSA lebih diperuntukkan untuk mengurangi porsi dolar, dan meningkatkan porsi yuan pada cadangan devisa Indonesia. Sehingga likuiditas yuan juga ikut bertambah. Dengan likuiditas yuan yang bertambah, harapannya para pelaku perjuangan sanggup melaksanakan transaksi dengan Cina sanggup menentukan yuan sebagai alat pembayaran daripada pakai dolar AS.
“Likuiditas ini penting. Pelaku perjuangan pilih dolar lantaran likuiditasnya tinggi. Saat ini, sudah mencapai 90 persen dari total transaksi valas global,” kata Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira kepada Tirto.
Namun, sehebat apapun bagan yang disiapkan untuk keluar dari dominasi dolar AS, ujung-ujungnya akan sangat tergantung dengan pelaksanaannya. Pada 2014, kemudahan BCSA dengan Cina dianggap belum efektif dan menjadi catatan BI.
“Info dari Bank Indonesia ke saya, waktu itu dengan potongan statistik, penggunaan yuan dan rupiah dari total perdagangan Indonesia-China itu gres 3 persen,” tutur Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih kepada Tirto.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai perdagangan antar kedua negara pada 2012 tercatat US$51,04 miliar. Pada Oktober 2017, total nilai perdagangan menembus  US$46,55 miliar.
Baca juga: BI Sebut Rupiah Melemah Sebab Reaksi Pasar pada Kebijakan AS
Belum maksimalnya bagan BCSA, bukan berarti hanya problem pemerintah maupun bank sentral. Kalangan pelaku usaha, terutama eksportir dan importir dari masing-masing negara memang menyukai dolar sebagai alat pembayaran transaksi perdagangan.
Kondisi tersebut juga diakui oleh para pengusaha di bawah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyampaikan preferensi eksportir dan importir memang masih menentukan dolar untuk transaksi internasional.
“Memang kenyataannya menyerupai itu [penggunaan yuan dan rupiah dalam perdagangan Indonesia-China masih rendah]. Minat pelaku perjuangan baik dari Indonesia maupun Cina untuk menggunakan dolar masih tinggi,” katanya kepada Tirto.
Lantas bagaimana dengan nasib LCS antara Indonesia, Malaysia dan Thailand? Perjanjian LCS yang lebih konkret, harusnya sanggup lebih mendorong pelaku perjuangan untuk menggunakan mata uang lokal lebih nyata dalam transaksi perdagangan bilateral ketiga negara. Pelaksanaannya yang melibatkan banyak bank ketiga negara sanggup jadi harapan.
Total nilai transaksi perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand juga besar, yaitu sekitar US$27 miliar per Oktober 2017. Bisa dibayangkan betapa besar potensi kebutuhan dolar AS yang sanggup dikurangi apabila kemudahan LCS berjalan efektif.
Hal lain yang menciptakan LCS sanggup berpeluang efektif, lantaran ketiga negara pernah mempunyai pengalaman yang jelek terhadap kurs dolar AS. Saat krisis ekonomi 1998, rupiah terpuruk ke Rp16.650 per dolar AS. Begitu juga dengan baht, terpuruk menjadi 56 baht per dolar AS.
Ringgit Malaysia, juga pernah terpuruk terhadap dolar AS pada 2015. Pada tahun itu, nilai tukar Malaysia mencapai 4 ringgit per dolar AS. Selain lantaran krisis ekonomi, terpuruknya ringgit juga didorong skandal dugaan korupsi Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak.
Baca juga: Apakah Mengoleksi Dolar Masih Layak Disebut Investasi?
Melihat kesamaan pengalaman tersebut, seharusnya kolaborasi antara Indonesia, Malaysia dan Thailand dalam penggunaan LCS sanggup lebih baik. Namun, dunia perjuangan menilai capaian dari kolaborasi yang dilakukan Indonesia, Malaysia dan Thailand bukan jalan yang akan mulus.
“Sepertinya akan sama kejadiannya menyerupai dengan Cina. Selama ini, eksportir dan importir memang sudah terbiasa dengan dolar, jadi susah bergeser. Ini memang harus dibangun dulu kesadarannya,” kata Hariyadi.
Mengurangi ketergantungan dolar harus diakui memang menjadi tantangan dan pekerjaan rumah yang tak mudah. Persoalannya apakah implementasinya di lapangan efektif? Kesepakatan ketiga bank pusat tiga negara itu masih sangat tergantung dari dorongan pemerintah dan tentunya dunia usaha.
Baca juga artikel terkait DOLAR AS atau goresan pena menarik lainnya Ringkang Gumiwang
(tirto.id - rgw/dra) 
Apa makna akurnya ketiga bank sentral di ASEAN dalam penggunaan mata uang lokal dalam perd Babak Baru  bagi Rupiah, Baht dan Ringgit hadapi Dollar Amerika 
Apa makna akurnya ketiga bank sentral di ASEAN dalam penggunaan mata uang lokal dalam perd Babak Baru  bagi Rupiah, Baht dan Ringgit hadapi Dollar Amerika Agus Martowardojo bersama Gubernur Bank Negara Malaysia Muhammad bin Ibrahim dan Gubernur Bank of Thailand Veerathai Santiprabhob memperlihatkan pemaparan ketika peluncuran Local Currency Settlement Framework, di Gedung Thamrin, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar 

Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Kamis/21122017/11.47Wita/Bjm
judi36
 
Top